Sabtu, 02 Agustus 2008

Kayu “Tenda Biru” Kapuas Hulu

Equator
Kamis, 14 Februari 2008

Pontianak,- Pembalakan hutan menggila. Masyarakat jadi tameng, hasil dikeruk oknum tertentu.
Warga Negara Asing (WNA) Malaysia dan seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Landak, diduga sebagai otak pengangkutan 32 ribu batang kayu yang diamankan Kodim 1206 Kapuas Hulu, beberapa waktu lalu. Keduanya juga diduga aktor di belakang 2 ribu batang kayu “tenda biru” yang diamankan Polres Sintang, sebelumnya.

“Dari informasi yang saya peroleh, PNS tersebut bekerja di Pemerintahan Kabupaten Landak. Oknum PNS tersebut merupakan pemilik kayu. Sedangkan oknum yang membiayai pengangkutan merupakan warga negara Malaysia berinisial Sg,” ungkap akademisi hukum Universitas Tanjungpura (Untan) Rousdy Said, SH, MS, Rabu (13/2).
Menurut Rousdy, Sg sebelumnya merupakan warga Indonesia yang pindah ke Malaysia dan menikah di sana (Malaysia, Red). Enam tahun belakangan ini, Sg kembali lagi ke Indonesia dan bertempat tinggal di Senakin, Kabupaten Landak. “Sg sendiri merupakan salah satu sepupu petinggi pejabat Kalbar,” kata Rousdy yang menghubungi Equator.
Ia mengaku pernah kenal dengan Sg yang sebelumnya bekerja sebagai penampung beras ilegal dari Kalbar dan diangkut ke Malaysia melalui perbatasan Jagoibabang perbatasan Serikin, Kabupaten Bengkayang. Sg juga memiliki toko bangunan di Serikin. Kini, Sg mengalihkan bisnisnya ke penebangan kayu di Kalbar. Bahkan, kata Rousdy, ia yang menghimpun kekuatan cukong kayu di Malaysia dengan memanfaatkan masyarakat kecil.
“Masyarakat yang menjadi korban yaitu 21 warga Kapuas Hulu yang membawa kayu rakitan kemudian ditangkap Polres Sintang. Masyarakat yang menjadi korban semakin banyak dengan ditangkapnya 32 ribu batang oleh Kodim 1206 Kapuas Hulu dengan jumlah 800 orang. Termasuk di dalamnya ibu-ibu dan anak-anak,” kata Rousdy prihatin.
Menyikapi persoalan kayu tenda biru tersebut, Polri dan TNI harus menangkap pelaku utamanya. Menurutnya, kemungkinan besar aparatur hukum baik polisi maupun TNI telah mengetahui aktor di balik pengangkutan ribuan batang kayu tersebut. Paling tidak, masyarakat yang diamankan petugas buka mulut dan mengatakan pelaku utama yang sebenarnya.
“Kita akan melihat sejauh mana proses hukum atas kasus kayu tenda biru ini. Kalau memang aparatur hukum menjadikan masyarakat sebagai tersangka, sementara pelaku utamanya tidak diamankan, maka bisa memancing kericuhan. Meskipun masyarakat butuh uang, mereka tidak akan mau dijadikan tersangka. Apalagi hanya sebagai pengangkut saja, bukan sebagai pemilik kayu,” kata Rousdy.
Dilihat dari jenisnya, kayu yang diangkut masyarakat bukan tebangan banjir, melainkan tebangan hutan. Jenis kayu tebangan banjir meliputi tebadak air, kawi, pungau, benuang, dan tempurau. Kayu tersebut ditebang di pinggir sungai. Paling jauh tebangan dilakukan 300-500 meter dari anak sungai. Dengan jarak sejauh itu, dan alat tradisional, masyarakat tidak akan mampu mengeluarkan kayu tebangan. “Sementara kayu yang ditangkap jenisnya ada yang meranti dan jenis lain yang tumbuh di daerah perbukitan, bukan pinggiran sungai,” tegas Rousdy.
Sementara, Pelaksana Harian Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL), Happy Hendrawan menilai dalam persoalan tersebut ada semacam gerakan yang terorganisasi dari para pelaku pembalakan liar untuk sengaja membenturkan antara masyarakat dengan pemerintah penegak hukum. Namun di sisi lain ada oknum penegak hukum dan pemerintahan itu sendiri yang terlibat dalam permainan tersebut.
“Yang jadi masalah sekarang kan siapa yang punya komitmen kuat untuk menyelesaikan persoalan tersebut, apakah pemerintah atau penegak hukum. Saya kira sudah jelas, untuk persoalan tersebut ada hukum yang mengatur dan ini tentunya harus diproses. Jangan sampai aktor di balik masyarakat tersebut menjadi bias dan tak tersentuh hukum karena menyangkut kepentingan,” nilainya.
Ia mengingatkan sebagai efek jera dari perbuatan ilegal tersebut, mestinya hasil kejahatan berupa 32 ribuan kayu log tersebut dimusnahkan bukan nantinya dilelang. Lelang, kata Happy sudah menjadi modus aktivitas IL.
“Itu pun jika tidak ada persoalan dengan masyarakat, dan pemerintah beserta penegak hukum mampu mengatasinya. Karena kalau setiap hasil IL harus dilakukan pelelangan maka hutan kita akan cepat habis,” katanya.
Happy meyakini sebenarnya penegak hukum sudah mengetahui siapa aktor di balik masyarakat tersebut, namun masih belum ingin menindaklanjutinya lebih jauh. “Saya tidak habis pikir sebenarnya ada apa hingga masyarakat melakukan hal tersebut. Tentu kalau dikaji, ada banyak hal salah satunya adalah kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan ini tanggung jawab negara terhadap rakyatnya,” paparnya.
Persoalan tersebut menurut Happy tidak akan terjadi jika negara benar-benar memerhatikan kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Terutama persoalan perut sehingga mereka tidak mudah terbujuk oleh janji para cukong.
“Saya berharap agar persoalan ini dapat diselesaikan dengan tuntas. Kalau tidak ada jalan penyelesaiannya, bahkan pelaku dengan gampang bergerak bebas, maka menunjukkan persoalan pemberantasan IL di Kalbar tidak akan ada habisnya. Akan makin banyak oknum pejabat atau penegak hukum yang terlibat. Kami akan tetap mengawal persoalan ini,” pungkasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, aparat Kodim 1206 Kapuas Hulu, menangkap 32 ribu kubik kayu yang dibawa sekitar 800 warga “tenda biru”. Warga yang ditangkap terdiri dari pria, wanita, bahkan anak-anak. (amk/her)


0 komentar:

Posting Komentar

 
© free template by Blogspot tutorial