Minggu, 03 Agustus 2008

Banding, Bun Tia Divonis Lebih Ringan

Equator
Selasa, 8 Mei 2007

Pontianak,- Majelis Hakim Pengadilan Tinggi 26 Maret lalu mengeluarkan keputusan banding terpidana kasus illegal logging, Bun Tia alias Tian Hartono. Isi putusan memperbaiki keputusan Pengadilan Negeri Pontianak akhir tahun 2006, dengan 1 tahun pidana penjara, subsider 4 bulan dan denda sebesar Rp 1 miliar dan tetap sebagai tahanan kota. Putusan itu lebih ringan 6 bulan dari 2 tahun yang dijatuhkan PN Pontianak akhir tahun 2006.
Persidangan ditangani Ketua Majelis Hakim, Mudzakir, SH, Ismiati SH, dan I Nengah Suriada SH. Mudzakir ditemui di ruang kerjanya, Senin (7/5) mengatakan, pelaksanaan hukuman bagi terdakwa masih harus menunggu permintaan kasasi tidaknya terpidana. Seperti yang diketahui kasasi dilakukan setelah yang bersangkutan mendapat surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri kepada kuasa hukumnya selama 14 hari setelah hari pemberitahuan.
Dimintai konfirmasi atas putusan banding Bun Tia ini, pihak Pengadilan Negeri Pontianak diwakili Panitera Muda Pidana, Frank Pessy SH, mengatakan belum menerima surat keputusan yang dikeluarkan berkenaan dengan hasil putusan sidang kasus Bun Tia alias Tian Hartono. “Kami belum terima surat tersebut mungkin masih dalam proses penyelesaian,” ungkapnya.
Kuasa hukum Bun Tia, Andel SH dihubungi via selulernya, mengaku tidak mengetahui bahwa putusan banding kliennya sudah keluar. “Saya belum tahu kabar terbaru tentang kasus tersebut apalagi mendengar serta menerima tentang putusan yang sudah diambil pihak majelis hakim,” jelasnya.
Putusan itu mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan. Fasilitator Jaringan Anti Money Laundering (JAMAL), Deman Huri menilai putusan banding kasus Buntia yang lebih ringan dari putusan PN merupakan sebuah pukulan telak bagi upaya penegakan hukum dalam kejahatan kehutanan. “Saat putusan tingkat pengadilan negeri saja sudah membuat kecewa. Ini pukulan bagi penegakan hukum IL. Terus terang kami kecewa dengan putusan tersebut. Apa alasan sehingga putusan tersebut bisa lebih rendah dari putusan PN? Kami menduga tentu ada apa-apanya,” kesalnya.
Saat persidangan di PN, kata Deman, Bun Tia jelas-jelas mengakui bahwa dia telah melakukan penebangan di kawasan hutan Bukit Punai Laki, yang notabene masih dalam kawasan hutan lindung. “Kami sangat kecewa atas keputusan banding tersebut. Bukti sudah sangat jelas ada hitam di atas putih sebagai bukti autentik dan itu atas pengakuan dari yang bersangkutan,” ungkap Deman.
Persoalan ini menurut Deman tidak hanya berhenti sampai di sini karena masih banyak celah lain yang dapat digunakan untuk kembali menjerat pelaku. “Sampai saat ini persoalan pencucian uang masih belum dibuka, dan tentunya ini dapat menjadi bagian dari upaya hukum baru untuk menjerat pelaku. Penyidik mesti jeli memandang persoalan terkait indikasi pencucian uang yang dilakukan oleh Bun Tia, berikut beberapa pejabat yang terlibat dalam kasus tersebut,” terangnya.
Money Laundering
Pelaksana Harian Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL), Happy Hendrawan, juga menyesalkan putusan banding terpidana kasus pembalakan hutan lindung. “Maunya hakim itu apa sih, seperti tidak punya nurani lagi. Padahal Bun Tia sudah jelas-jelas melakukan pembalakan hutan lindung, fakta-fakta di persidangan sepertinya diabaikan,” terangnya.
Lebih lanjut Happy mengatakan upaya menjerat pelaku terkait pencucian uang dapat dilakukan. “Dari pantauan kita di lapangan, disinyalir beberapa aset Bun Tia berada di Singapura,” terangnya.
Sedangkan aset yang ada di Indonesia yang terindikasi merupakan milik Bun Tia dan kerabat dekatnya di antaranya beberapa buah rumah di Jalan Tendean, Jalan S. Parman, Jalan Diponegoro, di depan Rimba Ramin B Tanjung Hilir dan Jalan Taman Anggrek Jakarta. Beberapa usaha lain yang juga disinyalir merupakan miliknya dan keluarganya di antaranya, Duta Ponsel, Hendry Gallery, jasa expedisi kapal dan tongkang dan terakhir terindikasi PT SMS/Mebeulindo di Arang Limbung juga didanai Bun Tia. ”Kami menduga jasa ekspedisi kapal masih aktif dan kapal-kapal ini ditambat di Sungai Landak tepatnya di logpon Rimba Ramin B. Kalau untuk ponton, ada yang ditambat di logpon Pontianak tepatnya Sungai Landak dan ada yang ditambat di Sungai Kapuas Sintang, sampai sekarang ponton-ponton tersebut masih aktif bergerak untuk mengangkut kayu. Beberapa waktu lalu, ada kayu hasil lelang yang di tangkap di Semitau. Indikasinya merupakan milik anak Bun Tia dan ponton yang digunakan untuk mengangkut itu merupakan miliknya," paparnya.
Terpisah, Public Relations Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), M Natsir Kongah MS kepada Equator mengatakan pengusaha dan pejabat daerah yang terlibat dalam kasus pembalakan liar dapat diindikasikan telah melakukan kejahatan ganda yaitu kejahatan utama (core crime) pembalakan liar, dan kejahatan lanjutan (follow up crime) manakala ia melakukan pencucian uang (money laundering).
Untuk membuktikan kejahatan utama dari para pelaku pembalakan liar menurut Natsir, aparat penegak hukum akan lebih mudah mendapatkan titik terang bila melakukan pendekatan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU. ”Pasal 2 ayat 1 Undang-undang TPPU menyebutkan, hasil tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, antara lain korupsi, penyuapan, kejahatan di bidang kehutanan, dan lingkungan hidup,” kata Natsir.
Adapun pencucian uang sesuai pasal 1 ayat 1 UU TPPU pada dasarnya adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan. Sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Mantan Ketua Komisi B DPRD Kalbar H Sy Abdullah Alqadrie SH MH mengatakan sangat tidak adil apabila Bun Tia hanya disanksi dengan hukuman satu tahun penjara dengan subsider empat bulan dengan denda Rp 1 miliar. ”Saya juga tidak tahu bagaimana hukum kita saat ini. Keputusan sebelumnya dua tahun penjara dengan Rp 1 miliar sangat menunjukkan rasa ketidakadilan apabila dibandingkan dengan kesalahan yang dilakukan. Namun, apa mau dikata apabila putusan seperti itu,” kata Abdullah.
Abdullah menekankan aparat hukum supaya keberadaan Bun Tia juga disoroti. Sampai saat ini pembalak hutan terbesar di Kalbar masih berkeliaran di mana-mana bahkan bisa pergi ke luar Kalbar. ”Aneh, benar-benar aneh sekali. Bun Tia itu diputuskan sebagai tahanan kota. Keluar kota Pontianak saja dia tidak diperbolehkan, apalagi Kalbar. Seharusnya Bun Tia itu masuk rutan. Sekarang siapa yang bertanggung jawab atas kasus tersebut. Mungkin karena yang mengawasi Bun Tia itu orang atau lembaga kebal hukum, kemudian Bun Tia juga bisa kebal hukum. Seharusnya masalah ini disikapi secara bersama, agar ada unsur jera bagi mereka yang terlibat kasus illegal logging,” kesal Abdullah. (ian/her/amk)


0 komentar:

Posting Komentar

 
© free template by Blogspot tutorial