Minggu, 03 Agustus 2008

Aspek Hukum Desa dan Hutan Desa*)

Sulaiman N. Sembiring**)

Sebuah Tulisan Pembuka

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai otonomi Pemerintahan Daerah telah membawa sejumlah perubahan. Implikasinya, terjadi perubahan pola pemerintahan yang telah berlangsung hampir tiga dekade. Pola pemerintahan yang selama ini sentralistik secara perlahan mulai mencair ke arah desentralistik dan atas secara legal konstitusional mengangkat kembali keberadaan dan pamor Desa yang lama mati suri dan bahkan secara sosiologis, politis dan ekonomis telah berubah dan berganti dengan desa pola Jawa1


PENGANTAR
Dua dekade lebih, desa talah menjadi institusi robot yang bergerak atas keinginan dan perintah pusat. Layaknya organisasi militer yang diperintah menurut garis komando. Hal ini menjadikan Desa menjadi desa. Dan kenyataan pahit ini dilegalkan oleh undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa (yang selanjutnya disingkat UUPD, ed). Yang kelak dikemudian hari UUPD direvisi karena dianggap bertentangan dengan semangat UUD 19452. Desa yang tumbuh dan berkembang dengan kearifan dan corak lokal nan unik yang disokong pelbagai perangkat kelembagaan dan kekuasaan khas, diubah menjadi desa yang monoton. Desa lantas sekedar alat administrasi pelaksanaan pemerintahan dan sekaligus sebagai alat kontrol efektif Pemerintah Pusat pada masyarakat. Berbagai konflik dan dampak buruk atas perubahan tersebut telah banyak ditulis dan dampak buruk atas perubahan tersebut telah banyak ditulis dan nyaris tak terbantah. Akan tetapi, harus diakui pula, setelah berjalan cukup lama masyarakat telah terbiasa dengan bentuk pemerintahan desa ala pemerintah. Mereka kehilangan memori dengan desa mereka yang khas dan telah berbiasa menyebut desa seolah-olah sebagai kemestian yang terberi (given).
Berbarengan dirilisnya UU otonomi daerah tahun 1999, di sektor pengelolaan sumberdaya alam, khususnya kehutanan, diundangkan pula Undang-undang No. 41 Tahun 1999. UU ini menggantikan undang-undang sebelumnya yang dibuat pada tahun 19673. Dalam kaitannya dengan status dan fungsi hutan, Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK). Dalam bab penjelasan, disebutkan kalau hutan negara dapat berupa (1) hutan adat, yakni hutan negara yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat. Hutan adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan marga, hutan pertuanan dan hutan lainnya (2) Hutan desa, yaitu hutan negara yang dikelola oleh desa, dan (3) hutan kemasyarakatan, yaitu hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
Pencantuman Hutan Desa dalam penjelasan UUK pada dasarnya merupakan hal baru. Pokok ini belum pernah diatur di dalam Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5 Tahun 1967. Tidak ada penjelasan spesifik apa dasar atau pertimbangan pencantuman hutan desa tersebut.
Apabila melihat keberadaan desa-desa sekarang, UU tersebut sesuai semangat otonomi daerah. UU itu dapat mendorong desa-desa menjadi otonom. Maka, bisa dikaji, arah pencantuman marka hutan desa tersebut adalah sebentuk pemberian kesempatan terhadap desa untuk terlibat di dalam pengelolaan hutan Negara—baik perlindungan maupun pengusahaan hutan—yang terdapat di dalam wilayahnya.
Tulisan singkat ini merupakan kajian awal—dan sekaligus memberi atasan, pada aspek hukum tentang hutan desa dengan penekanan pada legalisasi dan legislasi Hutan Desa. Terdapat beberapa kata kunci yang ingin digaris bawahi di sini yaitu istilah-istilah desa sebagaimana dijelaskan di awal, legalisasi dan ligislasi, serta hutan dan Hutan Desa.

DESA, ATAU YANG DISEBUT DENGAN NAMA LAINNYA : KERANGKA HUKUM
Pada tahun 1965 kita mengenal Undang-undang Nomor 19 Tentang Desapraja. Konstitusi tersebut masih memayungi Desa dengan berbagai bentuk institusi dengan ciri khas yang mengakar pada masyarakat. Namun sepanjang pemerintahan sentralistik rezim Suharto, tahun 1967 rezim ini “membekukan” UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah4. Pada tahun 1979, UU No. 19 Tahun 1965 juga diganti dengan UU No. 5 Tahun 1979. Institusi pemerintahan terkecil (Desapraja) atau Desa yang ada di daerah harus diganti dan diseragamkan menjadi desa. Institusi-institusi seperti Nagari di Sumatera Barat, Pekon di Lampung, marga di Sumatera Selatan, Banua di Kalimantan Barat, Huta atau Kuta di Sumatera Utara atau Kampong di sejumlah daerah Kalimantan selanjutnya dihapuskan.
Desa lantas didefinisikan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang memiliki organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri di dalam ikatan NKRI. Sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 UUPD, desa debentuk dengan memperhatikan syarat-syarat wilayah, jumlah penduduk, dan syarat lain yang ditentukan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri. Unsur-unsur lain yang ditetapkan UUPD itu adalah a) kepala Desa, b) Lembaga Musyawarah Desa5.
Keluarnya TAP MPR tentang penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan pemerintah pusat dan daerah6, menetapkan kebijakan negara atas pelaksanaan otonomi daerah secara efektif. Peristiwa ini cepat-cepat direspon dengan lahirnya UU pemerintahan daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dalam kaitanya dengan desa, diatur kembali oleh UU No. 22 Tahun 1999 dalam bab tersendiri, yakni Bab XI yang meliputi pasal 93 sampai dengan pasal 111.
Undang-undang Pemerintahan Daerah kemudian memberikan batasan tentang desa sebagai Desa atau yang disebut dengan nama lainnya, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten.

HUTAN DESA: LEGALISASI DAN LEGISLASI
Dari penjabaran di atas, dapat kita amati, dan selanjutnya memberikan pemahaman betapa membingungkannya pengaturan antara desa di satu sisi, sebagai institusi terkecil di republik ini, dengan ketidakjelasan asset yang dimiliki oleh institusi tersebut seperti hutan. Akses masyarakat atas hutan tidak menjadi perhatian dan pemerintahan desa hanyalah institusi administrasi. Kondisi tersebut di atas tampaknya sangat dipengaruhi oleh pendekatan pemerintahan yang sentralistik—yang membatasi kewenangan institusi-instusi daerah termasuk desa dalam pengelolaan hutan. Pengertian Hutan Negara dipelintir menjadi hutan milik pemerintah pusat, dan selanjutnya, pemerintah pusat, dari kiprahnya selama ini bertindak “seenaknya”. Padahal negara jelas berbeda dengan pemerintah pusat 9.
Konsesi dan izin eksploitasi hutan yang selama ini diberikan di Jakarta kerap kali tidak mempertimbangkan keberadaan kampung atau desa di suatu wilayah. Sekali sebuah konsesi diberikan maka selanjutnya wilayah yang “dipetakan di Jakarta” tersebut telah beralih tangan kepada pemilik konsesi. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang HPH dan HPHH bahkan menyebutkan, hak adat dibekukan.
Untuk menghindari bertambahnya dan atau mencegah konflik di kemudian hari—khususnya konflik diantara peraturan perundang-undangan dan di antara masyarakat itu sendiri—maka legalisasi tentang hutan desa menjadi suatu upaya yang harus segera dilakukan. Legalisasi, bukan sekedar menempatkan suatu maksud di dalam perangkat perundang-undangan sehingga ia menjadi sah berdasarkan hukum positif, akan tetapi merupakan suatu pengakuan dan selanjutnya harus diikuti dengan penjelasan dan penetapan dari penjelasan tersebut terminologi hukum yang nantinya dapat dan harus diacu oleh semua pihak.

Kesimpulan
Desa sebagai institusi pemerintahan terkecil di Indonesia, keberadaanya sangat bergantung pada dinamika politik nasional. Terhadap desa telah terjadi sejumlah perubahan pada bentuk dan struktur kekuasaannya walaupun istilah yang digunakan adalah desa. Hal yang paling menarik adalah penjelasan yang terdapat di dalam konsideren UU No. 22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945
Saat ini masih banyak penggunaan istilah desa yang seragam. Namun, jika dicermati, istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Istilah tersebut adalah Desa, desa dan Desa atau yang disebut dengan nama lainnya.
Sementara itu secara prinsip pengaturan tentang Hutan Desa (Legalisasi) baru muncul di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang sebelumnya tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di bidang Kehutanan. Namun demikian aturan lebih lanjut (legislasi) dari hutan desa yagn merupakan langkah komprehensif dan terintegrasi (dan juga harmonisasi) antara desa atau yang disebut dengan nama lainnya dengan hutan sebagai kekayaan atau asset desa sejauh ini belum dikembangkan.

Rekomendasi
Legalisasi hutan desa yang terdapat di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan semangat untuk membangun Hutan Desa sebagai asset desa dalam bentuk legislasi merupakan suatu langkah yang memberi peluang pen-sejahteraan masyarakat, dan sangat penting untuk dilakukan. Namun demikian, pengembangan hutan desa tersebut harus dilakukan melalui kajian atas konteks otonomi desa dan desentralisasi pengelolaan hutan pada tingkat desa, termasuk pada aspek hukumnya.
Istilah Hutan Desa haruslah diikuti dengan identifikasi pada desa mana istilah tersebut ingin dilekatkan terutama dalam konteks Desa atau yang disebut dengan nama lainnya. Karena bisa jadi masing-masing desa telah memiliki dan pengertian masing-masing atas apa yang disebut dengan hutan desa, sebagaimana table –2 di atas.
Apa subjek atau objek yang dimaksud, apa perbedaan dan persamaan dengan yang lainnya dalam hal apa ia melekat dan seterusnya, merupakan hal-hal yang harus dijelaskan semenjak awal. Sebuah kajian akademik seharusnya menjadi landasan atas penetapan hutan desa tersebut. Upaya terakhir, yang semestinya harus dilakukan oleh para pihak yang paling berkepentingan sekaligus juga memiliki keahlian, dalam hal ini masyarakat masing-masing desa, adalah bagian dari legislasi dari hutan desa tersebut.
Dan yang tidak kalah pentingnya, perlu dilakukan kontekstualisasi makna hutan desa yang sebagai asset desa dalam bentuk hutan dengan Desa, desa atau desa atau yang disebut dengan nama lainnya.
Legislasi hutan desa di tingkat desa sebagaimana secara prinsipil harus diikuti di dalam penyusunan sumberdaya alam lainnya, hendaklah didasari oleh empat aspek utama, yaitu aspek filosofis, aspek sosiologis, aspek yuridis dan aspek ekologis. Selain itu, legislasi penyusunan aturan ini haruslah dilihat dan dibangun dalam kerangka kebijakan kehutanan di tingkat kabupaten yang selanjutnya harus mengacu pada tata ruang kabupaten.


*) Tulisan sudah pernah dipublikasikan dalam Buletin SIKLUS edisi khusus Februari, 2003.
**) Badan Pengurus Yayasan IHSA Periode 2007-2010


0 komentar:

Posting Komentar

 
© free template by Blogspot tutorial